Jumat, 30 Maret 2012
Keluhuran Perempuan dalam Cerita Sastra
Perempuan memang merupakan sosok yang indah untuk dijadikan imajinasi positif dalam berkarya. Model, aktris, dan lain sebagainya menjadi menarik ketika perempuan menjadi pemeran dalam bidangnya tersebut. Termasuk pula dalam karya sastra yang mengangkat penokohan perempuan menjadi cerita-cerita. Tentunya, perempuan menjadi daya tarik bagi para penikmat karya imajinasi yang positif tersebut.
Sebagaimana Wayan Sunarta dalam antologinya yang berjudul “Perempuan yang Mengawini Keris”, di mana cerita-ceritanya menampilkan tokoh perempuan, baik sebagai pemeran utama, pemeran pembantu, ataupun sesosok tokoh imajinasi yang memosisikan perempuan ke dalam tempat yang luhur. Perempuan dalam berbagai cerita sastra yang diposisikan ke dalam berbagai kondisi oleh penulisnya tersebut, benar-benar menjadikan perempuan sebagai sosok yang memang luar biasa.
Setidaknya, banyak pesan moral yang bisa diambil dari penokohan perempuan tersebut. Perempuan dalam cerita-cerita sastra tersebut menempati berbagai peran dan posisi. Sebagaimana yang tertuang dalam cerita yang berjudul “Perempuan yang Mengawini Keris”, seorang perempuan Bali telah menampakkan ketegarannya dalam cerita percintaan. Ia dikhianati oleh kekasihnya ketika hari pesta pernikahannya yang besar-besaran dilangsungkan. Demi menjaga martabat dan harga diri orangtuanya dari gunjingan negatif masyarakat, sosok perempuan dalam cerita tersebut rela menikah dengan sebilah keris.
Lain halnya dengan penokohan perempuan di dalam cerita yang berjudul “Aku Membeli Nyawaku”, penokohan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang tangguh dalam menanggung pekerjaan amoralitasnya sebagai pelacur hanya untuk menghidupi dirinya sendiri dan untuk mengobati penyakitnya yang diderita. Sebuah alasan pekerjaan amoral yang dilakukan oleh sosok perempuan tersebut adalah hanya tidak ingin merepotkan kekasihnya. Ia menginginkan cinta dari kekasihnya, akan tetapi tidak mau membebani kekasihnya untuk menanggung biaya penyembuhan penyakit yang mematikannya itu.
Sementara penokohan perempuan dalam cerita “Patung Perjalanan Perempuan”, sosok perempuan tidak dihadirkan dalam peran, akan tetapi sebagai inspirasi bagi seorang pemahat yang menjadi suaminya. Perempuan yang telah dulu pergi ke alam baka itu, menjadi inspirator bagi seorang pemahat (suaminya) untuk membuat patung kayu perempuan yang dicintainya itu. Hingga pada akhirnya, sang pemahat pun menyusul perempuan tersebut ke alam baka setelah menyelesaikan pahatan patung kayu perempuan yang menjadi kekasihnya itu.
Di lain cerita yang berjudul “Rastiti”, penokohan perempuan ditampilkan sebagai seorang istri yang ingin membahagiakan suaminya. Setelah diklaim oleh dokter sebagai perempuan yang kurang subur dan kesulitan untuk memberikan anak setelah beberapa tahun menikah dengan suaminya, ia rela berbohong demi kebahagiaan suaminya. Ia rela mengaku hamil kepada suaminya, padahal sebenarnya ia hanya berbohong. Namun demikian, apapun akan ia lakukan demi kebahagiaan sang suami yang sangat ingin memiliki keturunan.
Melompat pada cerita yang berjudul “Balada Sang Putri Di Gubuk Hamba”, seorang perempuan ditampilkan dengan peran yang bergaya keluh kesah. Meski demikian, ia adalah seorang jelita yang dikagumi oleh seseorang (laki-laki) yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut.
Cerita-cerita tentang perempuan juga hadir dalam judul-judul lainnya dalam antologi tersebut. Penokohan perempuan memang tidak sekadar kekayaan imajinasi penulis, akan tetapi lebih dari itu juga keluhuran kaum perempuan yang dijunjung sebagai figur yang memberikan inspirasi. Yang paling penting dalam karya sastra tersebut, tidak hanya menyajikan gaya bahasa yang indah dan sarat akan nilai sastra yang tinggi, akan tetapi juga pesan yang bisa diambil dari karya tersebut.
Hal itu tertuang dalam buku antologi ini, di mana pesan-pesan moral dan hikmahnya mengiringi setiap keindahan sastranya. Terutama, penokohan perempuan yang sesuai dengan tren feminisme, meskipun sebenarnya karya sastra tersebut tidak terfokus pada pemahaman feminisme.
Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Perempuan yang Mengawini Keris” tersebut, para pembaca diajak untuk menyelami keindahan karya sastra berupa cerita-cerita pendek yang sarat akan pesan-pesan moral. Meski demikian, cerita-cerita tersebut sebenarnya tidak melulu menokohkan perempuan, akan tetapi juga kearifan lokal, budaya, dan eksotisme tradisionalitas. Dengan demikian, pesan-pesan dari antologi cerita tersebut menjadi lebih bervariasi dan lebih beragam, tidak hanya dari penokohan perempuan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar