Jumat, 30 Maret 2012

Orang Jawa Teguh Memegang Etika


Kita tentu masih mengenang sosok bernama Mbah Maridjan. Dia wafat meninggalkan rekam jejak hidup yang berharga bagi masyarakat Jawa. Dialah kesatria yang teguh memegang prinsip dan amanah. Kala Gunung Merapi meletus dan warga mengungsi, Mbah Maridjan tetap menjaga prinsipnya sebagai juru kunci Gunung Merapi yang setia menjaga Merapi dalam kondisi apapun juga. Baik-buruknya Merapi telah menyatu dalam lelaku hidupnya. Kala sang ajal menjemput, Mbah Maridjan bersujud. Ini bukti bahwa lelaku hidupnya begitu indah, meninggalkan jejak etika berharga bagi kesatria Jawa.
 
Buku bertajuk “Etika Hidup Orang Jawa” memberikan ulasan lebih detail ihwal sosok manusia Jawa dengan segala etika hidupnya. Mbah Maridjan merupakan salah satu kisah yang sedang aktual hari ini. Etika memang menjadi lelaku hidup yang integral dalam diri manusia Jawa. Tindakan haruslah sesuai dengan kenyataan. Bertindak yang lalai dengan perkataan berarti jatuh dalam etika yang lungsuh, tak punya jiwa kesatria. Penulis melihat bahwa tanpa etika, manusia Jawa akan kehilangan jati diri hidupnya.
   
Dalam falsafah Jawa, ajining diri soko lathi, berarti harga diri seseorang diantaranya tergantung pada mulut, ucapan, dan bahasanya. Kata-kata yang fasih, manis, dan empan papan (tahu situasi dan kondisi) akan menyenangkan hati. Sedangkan perkataan yang kotor, jorok, kasar, dan rusak akan menyakitkan hati orang lain. Sumber malapetaka seseorang kebanyakan dari lidah yang tidak terkendali. Untuk itu, dalam bahasa Jawa dikenal unggah-ungguh, sopan santun dalam berbahasa. Kalau dengan orang lebih tua, maka unggah-ungguh nya menggunakan kromo inggil. Kromo inggil biasa digunakan di lingkungan Kraton Ngayogyokarto dan Kasultanan Surokarto. Sementara bahasa dengan sesama menggunakan ngoko: sebuah dialek kerakyatan yang penuh keakraban dan keharmonisan (hlm. 89).

Simpul berikutnya tercermin dalam ritus orang keramat, roh, dan selametan. Ritus-ritus ini adalah warisan dasar budaya Jawa yang terus mengakar, walaupun sekarang ritus ini telah disisi dengan dimensi keagamaan yang sangat kental. Toh demikian, ritus-ritus keramat tetap menjadi “agama Jawa” yang mampu mengakomodasi spirit Hindu India dengan spirit Islam yang kemudian diakulturasikan dengan budaya Jawa. Wujud akulturasi inilah yang tetap menjaga ritme keseimbangan harmonitas sosial yang terpanjang dalam kekuatan budaya Jawa. Dalam ritus orang keramat, roh, dan selametan, budaya Jawa mengajarkan kita ihwal sebuah pertautan ruhani yang mendalam dengan para pendahulu. Harmoni sosial bukan sekadar tercipta dengan ruang gerak fisikal, tetapi juga melalui jalan metafisik-spiritual yang mengelorakan nurani dalam satu kesatuan tunggal (hlm.198).

Dalam penciptaan kohesi sosial yang utuh, simpul falsafah budaya Jawa mengabarkan bahwa dalam gotong royong harus dikedepankan sifat sepi ing pamrih, rame ing gawe. Artinya, dalam kerja kebersamaan jangan sampai tercipta penyakit ingin dipuji, dibangga-banggakan, dan disanjung-sanjung. Bukan demikian. Tetapi harus sepi ing pamrih, tidak menghendaki pujian dan sanjungan, tetapi harus rame ing gawe, bersemangat dalam kerja dan kreativitas. Dengan kesabaran dan ketulusan, maka spirit rame ing gawe akan menjadi kekuatan sangat dahsyat mengobarkan jiwa-jiwa pemberani yang nantinya menjadi sopir kebudayaan dan peradaban bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar