Jumat, 30 Maret 2012
Resensi Dari Mana Datangnya Puisi?
Sejak sajak menemukan rima
Aksara ruparupa warna
Cinta tenggelam diamdiam
Bertunas seribu episode
Sejak sejuk tatapmu ramah
Kalimah berpendar di ujung pena
Bisu kita hanya kata
Dalam cinta kita merupa
"Ada banyak makna untuk merangkai kata tapi terlalu sedikit kata untuk merangkai makna. Tak banyak perempuan merangkai sajak seperti banyaknya karya Mahila," kata Andi Gadis Kinanti, moderator dalam acara peluncuran bertajuk 'Mengucap Zaman dalam Karya Sastra' untuk buku puisi berjudul '9 Pengakuan: Seuntai Kidung Mahila'.
Diluncurkan di Makassar, antologi puisi karya sembilan penyair perempuan itu berbentuk copyleft (bukan coyright), Sabtu 25 Februari lalu. Puisi dengan santainya di Kedai Family Garden dibicarakan gamblang oleh penyair Aslan Abidin.
90 puisi terkumpul jadi buku setebal 126 halaman dengan editor Shinta Febriany. Penyairnya sembilan orang: Erni Aladjai, Sri Rezkhi, Dewi Mudijiwa, Meiranti Kurniasih, Tiza Fitrizia, Deasy Tirayoh, Nilam Indahsari, Amanda Puspita, dan Nurul Nisa.
Sebuah sumber membocorkan informasi, bahwa kurang lebih Rp60 juta ongkos produksi dikeluarkan, termasuk pencetakan buku dan musikalisasi puisi yang direkam dalam compact disk. Proyek puisi yang terbilang cukup mahal dan terkesan serius benar.
Buku dan musik ini seperti nyanyian perempuan tentang musim angin di Makassar. Tentang bagaimana lirik dan sastra diimbuhi makna
tersendiri.
Sekarang, marilah mencari dari mana datangnya puisi ...
Dalam sebuah acara televisi, bekas biduan grup band pop Stinky, Andre Taulany, mempopulerkan kembali talibun yang dirangkai sebagai karangan dari logika cerdas sederhana. Khasanah Melayu, mungkin saja Deli, yang dulu menghiasi masa remaja Andre telah mengakrabkan dia pada bentuk-bentuk awal puisi. Talibun merupakan salah satu bentuk awal nan kuno itu.
Para pemirsa televisi karena ulah Andre seketika mengerti bahwa sastra selalu mengandung dua prinsip utama: menghibur dan
menyenangkan. Atau, Dulce et utile, kata orang sana.
Tidak heran bila mendengar rayuan gombal seperti bunyi talibun, banyak orang yang suka. Karena sesungguhnya kita amat mengenal bunyi-bunyi purba seperti itu sejak dulu kala.
Puisi itu karena sederhana, maka liriknya yang berdaulat tidak akan mungkin dapat digugat lagi oleh siapapun juga. Tapi karena itu, kalau harus buka kamus lagi, pengertian "sastra" tetap saja boleh dan sah dipertanyakan.
Di satu sisi, penyair ialah orang yang mencintai kata. Kepada orang-orang seperti mereka, kita berharap kata-kata yang telah lama mati di dalam kamus dihidupkan kembali daya pengertiannya ke dalam hati untuk menggugah semua orang dengan cara menghibur dan menyenangkan.
Seperti gugahan Dewi Mudijiwa dalam puisinya, Atom Rindu, yang menorehkan satu lirik: "Pada pasti yang tak dimengerti"...
Apakah liriknya itu terasa begitu dalam, tapi jauh dari unsur menghibur dan menyenangkan, bagaimana menilainya dengan ideal? Atau, apakah sebaris lirik tidak harus menjadi sebuah cara untuk menghibur dan menyenangkan?
Di sisi lain, komunitas seperti Komunitas Mahila mungkin boleh mulai membentuk klub etimologi untuk mengukur berapa banyak kata yang hidup dalam diri seorang penyair di mana kata itu juga dikenal orang-orang di sekitar mereka, lalu membandingkannya dengan kata-kata yang hanya menghiasi kamus tetapi mati karena tidak dipakai lagi.
Apa batas pengertian satu kata yang diajukan kamus sama dengan definisi yang dipahami manusia sehari-hari? Pertanyaan ini niscaya cuma berhasil dijawab oleh penyair yang tidak memproduksi puisi gelap atau secara asal-asalan.
Kalau ada seorang perayu bertanya: "Ibu kamu penyair ya?" maka jawaban, "Kok tahu?" atau "Nggak tahu!" menjadi tidak penting lagi bagi sebuah talibun. Yang penting itu ialah larik kedua yang memungkasnya: "Karena kau telah menghibur dan menyenangkan hatiku."
Akhir kata, si moderator, Andi Gadis Kinanti, lagi. Dia bilang, "Mari kita kembali menanti Mahila mencari sajak di folder tersembunyi." Mungkin, maksudnya, jadi harapan: semoga bukan pencarian sia-sia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar